HANYA SEBUAH TITIK HITAM itukah yang jadi masalah kita..???

blackdot

Seorang motivator bisnis yang maha terkenal, Jim Rohn , diundang sebuah perusahaan untuk melakukan motivasi memacu semangat karyawannya yang sudah mengendor.

Dalam presentasinya, Jim Rohn mengambil satu kertas putih yang besar, kemudian dia membuat sebuah titik hitam kecil dengan pen persis ditengah kertas itu.
Dia kemudian memperlihatkan kertas itu kepada semua orang yang hadir disana.
Lalu bertanya, “Apakah yang dapat lihat di kertas ini?”

Dengan cepatnya seorang pria langsung menjawab “ Saya melihat sebuah titik hitam”.
“Baik, apa lagi yang kamu lihat selain titik hitam?” Jim kembali bertanya.

Yang lainnya terus memberikan jawaban yang sama :
“Hanya sebuah titik hitam.”
“Tidakkah kamu melihat lainnya, selain titik hitam?”

Jim bertanya terus mengejar jawaban lain. “Tidak” dengan serentak, hampir seluruh pengunjung itu menjawabnya.
“Bagaimana dengan lembaran kertas putih ini?” Jim kembali bertanya “Saya yakin kamu semua pasti melihatnya, tetapi mengapa tidak ada yang memperhatikannya? Dan hanya pada sebuah titik kecil saja?”

Jim kemudian menjelaskan :
“Dalam hidup ini, kita juga selalu lalai dan mengabaikan akan banyak hal hal yang baik, hal-hal yang dahsyat, hal-hal yang cermerlang, hal-hal yang indah, yang kita miliki atau pernah terjadi disekitar kita, dan kita selalu hanya Fokus dan memberikan perhatian pada masalah Kecil, masalah Sepele, masalah Keuangan, masalah Kekecewaan, masalah Kegagalan.

Masalah kita itu, persis seperti sebuah titik hitam kecil , dalam lembaran kertas besar ini.
Masalah itu hanyalah kecil dan tidak signifikan, jika kita dapat meluaskan pandangan kita untukmelihat dalam hidup kita, persis seperti kita lihat seluruh lembaran kertas ini, maka titik hitam tadi, hampir sangat kecil dan tidak berarti.”
Apakah Anda termasuk orang yang juga selalu melihat titik hitam itu?

By Amank Tamin Dikirimkan di Tafakur

Mengenali tanda-tanda kedewasaan pada diri seseorang

Para ahli psikologi dan psikiater sepakat, bahwa kesuksesan seseorang ditandai dengan berkembangnya prestasi serta kematangan emosinya. Meski tidak ada orang yang menyangkal pernyataan ini, tetapi sedikit orang yang mengetahui secara pasti tentang bagaimana penampilan seseorang yang dewasa atau matang itu, bagaimana cara berpakaian dan berdandannya, bagaimana caranya menghadapi tantangan, bagaimana tanggung jawabnya terhadap keluarga, dan bagaimana pandangan hidupnya tentang dunia ini. Yang jelas kematangan adalah sebuah modal yang sangat berharga. Sesungguhnya apa yang disebut dengan kematangan atau kedewasaan itu?

Kedewasaan tidak selalu berkaitan dengan intelegensi. Banyak orang yang sangat brilian namun masih seperti kanak-kanak dalam hal penguasaan perasaannya, dalam keinginannya untuk memperoleh perhatian dan cinta dari setiap orang, dalam bagaimana caranya memperlakukan dirinya sendiri dan orang lain, dan dalam reaksinya terhadap emosi. Namun, ketinggian intelektual seseorang bukan halangan untuk mengembangkan kematangan emosi. Malah bukti-bukti menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Orang yang lebih cerdas cenderung mempunyai perkembangan emosi yang lebih baik dan superior, serta mempunya kemampuan menyesuaikan diri atau kematangan sosial yang lebih baik.

Kedewasaan pun bukan berarti kebahagiaan. Kematangan emosi tidak menjamin kebebasan dari kesulitan dan kesusahan. Kematangan emosi ditandai dengan bagaimana konflik dipecahkan, bagaimana kesulitan ditangani. Orang yang sudah dewasa memandanng kesulitan-kesulitannya bukan sebagai malapetaka, tetapi sebagai tantangan-tantangan.

Apa sih kedewasaan/kematangan itu? Menurut kamus Webster, adalah suatu keadaan maju bergerak ke arah kesempurnaan. Definisi ini tidak menyebutkan preposisi “ke” melainkan “ke arah”. Ini berarti kita takkan pernah sampai pada kesempurnaan, namun kita dapat bergerak maju ke arah itu. Pergerakan maju ini uniq bagi setiap individu. Dengan demikian kematangan bukan suatu keadaan yang statis, tapi lebih merupakan suatu keadaan “menjadi” atau state of becoming. Pengertian ini menjelaskan, suatu kasus misal, mengapa seorang eksekutif bertindak sedemikian dewasa dalam pekerjaannya, namun sebagai suami dan ayah ia banyak berbuat salah. Tak ada seseorang yang sanggup bertindak dan bereaksi terhadap semua situasi dan aspek kehidupan dengan kematangan penuh seratus persen. Mereka dapat menangani banyak proble secara lebih dewasa. Berikut ini ada beberapa kualitas atau tanda mengenai kematangan seseorang. Namun, kewajiban setiap orang adalah menumbuhkan itu di dalam dirinya sendiri, dan menjadi bagian dari dirinya sendiri. Maka, orang yang dewasa/matang adalah:

1. Dia menerima dirinya sendiri
Eksekutif yang paling efektif adalah ia yang mempunyai pandangan atau penilaian baik terhadap kekuatan dan kelemahannya. Ia mampu melihat dan menilai dirinya secara obyektif dan realitis. Dengan demikian ia bisa memilih orang-orang yang mampu membantu mengkompensasi kelemahan dan kekurangannya. Ia pun dapat menggunakan kelebihan dan bakatnya secara efektif, dan bebas dari frustasi-frustasi yang biasa timbul karena keinginan untuk mencapai sesuatu yang sesungguhnya tidak ada dalam dirinya. Orang yang dewasa mengenal dirinya sendiri dengan lebih baik, dan senantiasa berusaha untuk menjadi lebih baik. Ia tidak berkepentingan untuk menandingin orang lain, melainkan berusaha mengembangkan dirinya sendiri. Dr. Abraham Maslow berkata, “Orang yang dewasa ingin menjadi yang terbaik sepanjang yang dapat diusahakannya. Dalam hal ini dia tidak merasa mempunyai pesaing-pesaing.

2. Dia mengharagai orang lain
Eksekutif yang efektif pun bisa menerima keadaan orang lain yang berbeda-beda. Ia dikatakan dewasa jika mampu menghargai perbedaan itu, dan tidak mencoba membentuk orang lain berdasarkan citra dirinya sendiri. Ini bukan berarti bahwa orang yang matang itu berhati lemah, karena jika kelemahan-kelemahan yang ada dalam diri seseorang itu sudah sedemikian mengganggu tujuan secara keseluruhan, ia tak segan memberhentikannya. Ukuran yang paling tepat dan adil dalam hubungan dengan orang lain bahwa kita menghormati orang lain, adalah ketiadaan keinginan untuk memperalat atau memanipulasi orang lain tersebut.

3. Dia menerima tanggung jawab
Orang yang tidak dewasa akan menyesali nasib buruk mereka. Bahkan, mereka berpendapat bahwa nasib buruk itu disebabkan oleh orang lain. Sedangkan orang yang sudah dewasa malah mengenal dan menerima tanggung jawab dan pembatasan-pembatasan situasi dimana ia berbuat dan berada. Tanggung jawab adalah perasaan bahwa seseorang itu secara individu bertanggung jawab atas semua kegiatan, atau suatu dorongan untuk berbuat dan menyelesaikan apa yang harus dan patut diperbuat dan diselesaikan. Mempercayakan nasib baik pada atasan untuk memecahkan persoalan diri sendiri adalah tanda ketidakdewasaan. Rasa aman dan bahagia dicapai dengan mempunyai kepercayaan dalam tanggung jawab atas kehidupan sendiri.

4. Dia percaya pada diri sendiri
Seseorang yang matang menyambut dengan baik partisipasi dari orang lain, meski itu menyangkut pengambilan keputusan eksekutif, karena percaya pada dirinya sendiri. Ia memperoleh kepuasan yang mendalam dari prestasi dan hal-hal yang dilaksanakan oleh anak buahnya. Ia memperoleh perasaan bangga, bersama dengan kesadaran tanggung jawabnya, dan kesadaran bahwa anak buadanya itu tergantung pada kepemimpinannya. Sedangkan orang yang tidak dewasa justru akan merasa sakit bila ia dipindahkan dari peranan memberi perintah kepada peranan pembimbing, atau bila ia harus memberi tempat bagi bawahannya untuk tumbuh. Seseorang yang dewasa belajar memperoleh suatu perasaan kepuasaan untuk mengembangkan potensi orang lain.

5. Dia sabar
Seseorang yang dewasa belajar untuk menerima kenyataan, bahwa untuk beberapa persoalan memang tidak ada penyelesaian dan pemecahan yang mudah. Dia tidak akan menelan begitu saja saran yang pertama. Dia menghargai fakta-fakta dan sabar dalam mengumpulkan informasi sebelum memberikan saran bagi suatu pemecahan masalah. Bukan saja dia sabar, tetapi juga mengetahui bahwa adalah lebih baik mempunyai lebih dari satu rencana penyelesaian.

6. Dia mempunyai rasa humor
Orang yang dewasa berpendapat bahwa tertawa itu sehat. Tetapi dia tidak akan menertawakan atau merugikan/melukai perasaan orang lain. Dia juga tidak akan tertawa jika humor itu membuat orang lain jadi tampak bodoh. Humor semestinya merupakan bagian dari emosi yang sehat, yang memunculkan senyuman hangat dan pancaran yang manis. Perasaan humor anda menyatakan sikap anda terhadap orang lain. Orang yang dewasa menggunakan humor sebagai alat melicinkan ketegangan, bukan pemukul orang lain.

Mortimer R. Feinberg, Ph.D.1
1Diadaptasi dari “The Effective Psychology for Manager” oleh Mortimer R. Feinberg, Ph.D
By Amank Tamin Dikirimkan di Tafakur
Sampingan

1. Sedikit saja kebodohan menghilangkan hikmat dan kehormatan.

2. Cenderung melakukan kejahatan.

3. Mempertontonkan kedunguannya kepada semua orang.

4. Penyelewengan para penguasa.

5. Binasa oleh kata-katanya sendiri.

6. Bicara seperti orang gila.

7. Banyak bicara.

8. Melelahkan diri sendiri.

9. Malas.

10. Mengecam raja, mengutuki orang kaya.

Kebodohan bukan sifat yang selalu melekat pada diri manusia dalam tiap kondisinya. Tetapi ada bentuk kebodohan yang melekat pada manusia sebagai akibat dari perbuatannya sendiri yaitu kelalaiannya dalam upaya menghilangkan kebodohan tersebut dengan cara belajar.

Oleh karena itu hukum kebodohan dalam masalah agama berubah sesuai dengan perubahan hukum kebodohan yang dapat dimaafkan karena sebab-sebab syariat pertama adalah karena sebab kesulitan untuk melepaskan diri dari kebodohan tersebut. Kedua adalah tidak adanya kelalaian mukallaf dalam tindakannya yang muncul dari kebodohan yang dimaafkan tersebut. Jadi kebodohan tidak dapat dijadikan alasan kecuali jika ada kesulitan dan kendala untuk menghindarinya jika kesulitan dan kendala itu hilang dan ia dapat mengetahui hukum agama tetapi ia lali maka kebodohannya tidak dapat dimaafkan.

Syekh Islam Ibnu Taimiyah mengatakan “Orang yang meninggalkan kewajiban dan melanggar larangan bukan berdasarkan keyakinan dan bukan pula karena kebodohan yang dapat dimaafkan tetapi karena kebodohan dan berpaling dari kewajibannya mencari ilmu dengan kemampuan yang ada pada dirinya atau ia telah mendengar diwajibkannya hal ini dan diharamkannya hal itu dan ia tidak melaksanakannya karena ia berpaling dan bukan karena keingkarannya pada kerasulan kedua bentuk penyimpangan ini banyak terjadi karena meninggalkan kewajiban mencari ilmu yang diperintahkan kepadanya hingga ia meninggalkan kewajiban dan melakukan larangan tanpa mengetahui bahwa perbuatan itu telah diwajibkan dan yang lain diharamkan atau khithab telah sampai kepadanya dan ia tidak berusaha mengikutinya karena fanatik terhadap mazhabnya atau karena mengikuti hawa nafsunya maka tindakan ini telah meninggalkan keyakinan yang diwajibkan tanpa alasan syar’i.”

Ibnu al-Luham mengatakan “Jika kami mengatakan bahwa orang bodoh dapat dimaafkan maka yang kami maksudkan dengan pernyataan ini adalah apabila ia tidak lalai dan tidak meremehkan dalam mempelajari hukum. Sedangkan apabila ia lalai maka ia tidak dimaafkan.” {Syadzarat adz-Dzahab juz 7 h. 31 dan Mu’jam al-Mu’allifin juz 2 h. 510.

Ibnu Qayyim Rahimahullah berbicara tentang orang-orang bodoh dari kalangan kaum kafir yang bertaklid pada pembesar dan pemimpin mereka dalam kekafiran ia mengatakan “Dalam kondisi ini perlu ada penjelasan yang memadai yang dapat menghilangkan praduga macam-macam yaitu perbedaan antara mukallid yang memungkinkan baginya untuk mengetahui kebenaran dan ia berpaling darinya dengan mukallid yang tidak memungkinkan baginya untuk mengetahui kebenaran itu. Kedua bentuk taklid ini ada dalam realitanya maka seorang mukallid yang memungkinkan baginya mengetahui kebenaran tetapi ia berpaling dan melalaikannya maka ia tidak dimaafkan di hadapan Allah..”.

 Bentuk kebodohan ini adalah kebodohan yang terjadi akibat berpaling dari dan menghindari ilmu. Kebodohan bentuk ini merupakan kebodohan yang dapat dihindari dan dihilangkan; karena mukallaf yang tetap dalam kebodohan ini adalah pilihannya dan keberadaannya yang tanpa ilmu merupakan kehendaknya.

Maka seseorang yang bodoh yang tidak mengetahui hukum agama karena ia berpaling dari ilmu yang memungkinkan baginya untuk memperolehnya sama dengan orang yang ingkar yang melihat kebenaran tetapi ia tidak melaksanakannya.

Berdasarkan analisis terhadap pendapat beberapa ulama dapat dilihat bahwa sebagian mereka berpendapat bahwa kebodohan yang dapat dihindari oleh mukallaf tidak dapat dijadikan alasan baik karena kelalaian si mukallaf sendiri dalam mencari ilmu dan ia lebih memilih tetap dalam kebodohan tersebut maupun karena kebodohan tersebut berkaitan dengan masalah-masalah yang hukumnya telah diketahui secara jelas dan umum di kalangan masyarakat.

Imam Suyuthi Rahimahullah berkata “Setiap orang yang tidak mengetahui mengenai sesuatu yang telah diharamkan dan diketahui oleh mayoritas masyarakat ia tidak dimaafkan kecuali orang tersebut baru mengenal Islam atau hidup di daerah terpencil yang sulit mengetahui hal tersebut.” .

Imam al-Muqarri Rahimahullah mengatakan “Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan kepada para ulama untuk menjelaskan hukum-hukum . Maka tidaklah diterima kebodohan seseorang yang memungkinka baginya untuk mempelajarinya.” .

Imam Ibnu Rajab mengatakan “Jika seseorang yang hidup di negara Islam dalam lingkungan kaum muslimin berbuat zina dan ia mengaku tidak mengetahui bahwa zina telah diharamkan perkataannya tidak dapat diterima sebab kenyataannya ia telah mendustainya meskipun pada dasarnya ia tidak mengethui hal itu.” . Maksud dari perkataan Ibnu Rajab adalah bahwa hukum zina telah dikenal dan tersiar di negara Islam sehingga meskipun seseorang berbuat zina mengaku dirinya tidak mengetahui hukum zina maka ketidaktahuannya tidak dapat diterima karena kelalaiannya dalam upaya mengetahui hukum-hukum Islam yang merupakan ilmu agama yang sudah semestinya diketahui dan dikenal secara umum. Demikian juga karena kebodohannya tersebut bukan sesuatu yang sulit dihindari sehingga tidak dapat dijadikan alasan bagi orang yang meninggalkan kewajiban atau melakukan perbuatan yang telah diharamkan yang merupakan hukum agama yang sudah seharusnya diketahui dan telah dikenal secara umum kecuali orang tersebut baru mengenal Islam atau hidup di daerah terpencil yang jauh dari perkembangan ilmu sehingga hukum-hukum seperti ini kurang jelas baginya.

Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan ini adalah bahwa kebodohan yang dapat dihindari oleh mukallaf dengan melihat tidak adanya kesulitan untuk melepaskan diri darinya menurut kebiasaan mengingat tidak adanya sebab-sebab kesulitan tersebut juga dengan melihat kemungkinan mukallaf untuk memperoleh ilmu.. maka kebodohan tersebut tidak dapat dijadikan alasan dan karena itu pula mukallaf akan menerima segala akibat sesuai dengan perbuatannya.. Allahu a’lam.

Sumber Al-Jahl bi Masail al-I’tiqad wa Hukmuhu Abdurrzzaq bin Thahir bn Ahmad Ma’asy Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
sumber file al_islam.chm

Mengapa harus menghindari kebodohan?

Sampingan

Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”barangsiapa yang berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Akan keluar suatu kaum akhir jaman, orang-orang muda yang pemahamannya sering salah paham.  Mereka banyak mengucapkan perkataan “Khairil Bariyyah” (maksudnya: suka berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits). Sedangkan Iman mereka tidak melampaui tenggorokan mereka.
Mereka keluar dari agama sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya. Kalau orang-orang ini berjumpa denganmu perangilah mereka (luruskan pemahaman mereka).” (Hadits Sahih riwayat Imam Bukhari 3342).

Mereka bertanya siapakah yang dimaksud jumhur ulama pada zaman sekarang ?

Jumhur ulama adalah : Baca lebih lanjut

Mereka berdalil tapi tidak mengikuti pemahaman Jumhur Ulama